Gaya Hidup Pamer
Saat ini rasanya hampir semua diukur menggunakan uang dan barang yang kita miliki. Jika dianggap sebagai pengusaha yang sukses, pasti mempunyai rumah yang begitu mewah dan mobil yang banyak. Tidak jarang media sosial menjadi sebuah tempat sebagai ajang pamer dan aktualisasi diri atas status sosial yang dimilikinya. Bahkan banyak orang memaksakan dengan segala daya dan upayanya sekalipun itu tidak sesuai dengan kenyataan hidupnya. Pamer gaya hidup di sosmed dengan menampilkan photo-photo diri sedang makan di restoran mewah, jalan-jalan keluar negeri, dan lain-lain padahal semuanya itu dilakukan dengan memaksakan diri bahkan hasil dari berhutang. Pokoknya agar dirinya dapat diakui oleh lingkungan atau kelompoknya.
Kemudian apakah menjadi kaya itu salah? Bukankah kekayaan tersebut adalah hasil dari kerja keras yang telah lama dilakukan? Seharusnya bebas kita mau melakukan apa saja atas kekayaan dari hasil kerja keras yang telah kita lakukan? Toh Tuhan Yesus juga mengajak pemungut cukai itu bukan untuk makan malam bersama?
Orang memang boleh mengejar karir, cita-cita dan impiannya, namun jika ia mengorbankan segalanya demi apa yang dikejarnya, berarti dia telah mencintai dunia dengan hidupnya. Kristus telah memberikan contoh kepada kita bahwa kita harus meninggalkan segalanya jika mau mengikuti Dia sesuai dengan bacaan injil yang akan kita dengarkan besok. Dalam Injil Markus, orang kaya yang datang kepada Yesus juga menghadapi dilema yang sama. Dia adalah seseorang yang taat hukum, mengasihi Allah, tetapi terikat dengan kekayaannya. Ketika Yesus menyuruhnya menjual segala miliknya, dia pergi dengan sedih karena dia memiliki banyak harta. Ketika Yesus berkata, “Alangkah sukarnya orang yang berusaha masuk ke dalam Kerajaan Allah!” itu adalah peringatan bagi kita semua tentang bahaya mengikatkan diri pada kekayaan duniawi.
Kekayaan itu sendiri bukanlah dosa, tetapi cinta yang berlebihan terhadap harta benda bisa membuat kita sulit untuk menempatkan Tuhan sebagai pusat hidup kita. Kita sering kali merasa bahwa dengan harta dan kekuasaan, kita memiliki kendali atas hidup kita. Namun, di balik semua itu, ada ketidakpastian dan kegelisahan. Harta benda bisa memberikan kenyamanan, tetapi tidak bisa memberi kita kebahagiaan sejati atau hidup kekal.
Panggilan Radikal
Dalam kisah orang muda kaya (Markus 10:17-31), Yesus mengundangnya untuk menjual semua miliknya dan mengikuti-Nya. Hal ini merupakan panggilan yang sangat radikal, yaitu meninggalkan hal-hal duniawi demi mendapatkan harta yang lebih besar, yaitu Kerajaan Allah.
Saya mencoba merefleksikan bagaimana situasi hidup yang dialami oleh orang muda dan dikaitkan dengan kehidupan membiara kita. Mungkin diantara kita berpikir bahwa orang muda itu telah gagal dalam mengambil Keputusan untuk memilih hartanya dan tidak mengikuti Yesus. Membandingkan dengan orang muda itu, kita berpikir bahwa kitalah orangnya yang dimaksudkan oleh Yesus, karena telah meninggalkan orang tua, dan segalanya untuk mengikuti Yesus. Apakah itu cukup dengan hidup dalam suatu komunitas membiara? Bagi saya itu belum cukup karena kita masih berada dalam tahap pencarian yang sama yaitu menemukan Tuhan lewat kesaksian dan relasi kita dengan orang lain.
Bagi saya seorang biarawan religius, kehidupan di biara juga merupakan bentuk jawaban terhadap panggilan untuk menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Kita diundang untuk menghidupi kaul-kaul kita yaitu kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian, yang merupakan cara untuk meninggalkan “harta dunia” dan sepenuhnya mengarahkan hidup kita kepada Tuhan, karena kita sadar bahwa hal itu belum tentu murni kita lepaskan semuanya. Misalnya saja kaul kemiskinan, kita hidup dalam komunitas yang mengandalkan pemeliharaan Tuhan dan tidak memiliki harta pribadi, hal ini juga selaras dengan apa yang dikatakan Don Bosco dalam Konstiusi bahwa barang yang kita pakai adalah milik kita bersama dan harus dipakai sesuai dengan kegunaannya. Hal Ini adalah bentuk pengorbanan yang nyata dari kenyamanan duniawi demi fokus yang lebih besar pada kehidupan rohani.
Kedua kaul ketaatan, kita mengorbankan kebebasan duniawi untuk mendapatkan kebebasan yang lebih tinggi, yaitu kebebasan untuk mengabdi penuh kepada Tuhan dan mengikuti kehendak-Nya, lewat ketaatan kepada superior misalnya siap diutus ke mana saja, atau menyadari bahwa suara rector adalah perpanjangan suara Tuhan yang dapat membentuk komunitas ke arah yang lebih baik. Pengorbanan ini mencerminkan keinginan untuk melepaskan segala sesuatu yang mungkin menghalangi kedekatan dengan Tuhan. Serta yang terakhir, Seorang biarawan menyadari, meskipun secara formal telah mengucapkan kaul-kaulnya, juga tetap menghadapi tantangan yang sama sepanjang hidupnya: keterikatan pada hal-hal duniawi, yang bisa muncul dalam bentuk lain seperti ego, rasa nyaman, atau hubungan interpersonal yang tidak sehat dengan orang lain.
Cermin Bagi Oorang Yang Mengikuti Kristus
Kisah orang muda kaya adalah cermin bagi semua orang yang berusaha mengikuti Kristus, termasuk bagi mereka yang memilih jalan hidup biarawan. Perjuangan untuk melepaskan keterikatan pada dunia adalah tantangan yang nyata, tetapi juga merupakan panggilan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar, yaitu kebebasan rohani dan kedekatan dengan Tuhan. Orang muda kaya menolak panggilan ini karena hatinya masih terikat pada kekayaan duniawi, sedangkan seorang biarawan religius, melalui komitmennya, memilih untuk menyerahkan hidupnya sepenuhnya kepada Tuhan.
Dalam kedua situasi ini, pesan yang jelas adalah bahwa mengikuti Yesus memerlukan pengorbanan, tetapi pengorbanan itu membawa kepada harta yang lebih besar, yaitu hidup kekal di dalam hadirat Tuhan.
Fra Anselmus A. Sife